Wednesday, February 3, 2016

“Ma, Kapan Kita Naik Gojek Lagi ?”



Pagi itu, Agustus 2015, sekitar satu bulan sebelum peristiwa tenggelamnya Gaby di kolam renang sekolahnya, kami berangkat ke sekolah bersama-sama. Papa Gaby juga ikut mengantar sekolah pada hari itu.

Baru mau menuju keluar komplek, jalanan macet total sampai tidak bisa bergerak sama sekali dan benar-benar tidak jelas harus berapa lama kami terjebak kemacetan itu. Sementara waktu terus berjalan, saya mulai berpikir agar anak-anak saya tidak terlambat parah sampai di sekolahnya.

Kemudian saya mencoba memesan Gojek untuk pertama kalinya ( sebelumnya saya belum pernah memesan Gojek, dan aplikasi Gojek itu baru beberapa hari terpasang di HP saya. Mekanisme pemesanannya saya sudah pernah diberitahu oleh staff saya yang biasa memesan Gojek ).

Dari dalam kendaraan yang terjebak macet, yang masih berada di tengah komplek ( masih cukup jauh jaraknya sampai ke pintu gerbang utama komplek perumahan itu ), saya mencoba memesan Gojek. Saya mengisi alamat penjemputan di sekitar lokasi kendaraan dimana saya tengah terjebak macet, dan tidak lama Abang Gojeknya tiba.

Disitu kembali lagi terjadi persaingan antara Gaby dan dedenya. Keduanya sama-sama mau naik Gojek karena takut terlambat. Sementara saya berpikir Abang Gojeknya pasti akan keberatan bila harus mengangkut seorang ibu dan 2 orang anak secara bersamaan. Dan lagi pula hal itu terlalu berbahaya. Maka saya mau tidak mau harus memilih salah satu dari mereka.

Keduanya bersiap mau ikut saya naik Gojek. Kemudian saya memutuskan Gaby saja yang naik Gojek bersama saya, sebab dia sudah kelas 3 SD, kalau terlambat nanti ketinggalan pelajaran, sementara dedenya melanjutkan bermacet-macet ria dengan papanya.

Saat Gaby sudah bersiap turun dari kendaraan kami, dedenya menangis kejer mau ikut turun juga. Tadinya saya sempat beralih perhatian ke dedenya yang menangis sejadi-jadinya itu. Namun saat saya bilang “Dede aja yah Bie yang naik Gojek.” Air mata Gaby langsung mengalir keluar. Kalau Gaby sudah nangis berlinang air mata, saya selalu diliputi perasaan tidak tega. Jadi saya akhirnya tetap pada pendirian saya. Tetap Gaby yang ikut saya naik Gojek untuk mengejar waktu.

Kepergian saya dan Gaby naik Gojek diiringi oleh tangisan dede yang meraung-raung. Kata papanya, tangisannya berlangsung selama 30 menit nonstop dari sejak kami turun dari kendaraan.
Dari atas Gojek, kami meluncur dan melihat betapa kemacetan itu benar-benar parah. Dari tengah komplek sampai ring road arah lampu merah puri macet total akibat perbaikan jalan ( jalannya diuruk dan ditinggikan agar tidak banjir lagi kalau musim hujan ). Setelah mengambil jalan tikus, akhirnya kami sampai juga di sekolah.

Saat turun dari motor, Gaby berkata “Lho kok mama ngga bayar Abang Gojeknya ?” Mama jawab “Udah bayar Bie, motong deposit, tapi depositnya juga masih yang gratisan soalnya lagi promo baru bergabung dapat rp. 50.000 di saldo secara otomatis.” Dan Gaby berkata “So cool banget mama naik Gojek ngga bayar. Emangnya ngga apa-apa tuh ma ngga bayar. Ih, so cool banget.”

Kami tiba di sekolah agak telat, dan saya antar Gaby sampai ke tangga lantai 1, sekalian memberitahukan guru kelas dedenya Gaby, bahwa dedenya Gaby sedang terjebak macet parah di jalan. Ternyata hari itu bukan kami saja yang telat, tetapi beberapa teman yang melewati rute yang sama dengan kami juga datang terlambat hari itu akibat macet total.

Saat pulang sekolah Gaby bercerita kepada saya “Ma tadi Bibie cerita ke temen-temen kalo kita naik Gojek gratis. Mama ngga bayar Abang Gojeknya. Temen-temen semuanya pada ngga percaya, masa mama naik Gojek ngga bayar. Yang lain juga pada belom pernah naik Gojek. Baru Bibie doing yang udah pernah naik Gojek. Ternyata naik Gojek enak juga ya ma. Ma, besok kita naik Gojek lagi ya.” Mama menjawab “Kalo macet aja Bie naik Gojeknya, kalo ngga nanti si dede nangis kejer lagi ngga berenti-berenti.” Lalu dede menyahut “Besok giliran dede yang naik Gojek. Cie-cie kan udah tadi naik Gojeknya. Dede belom. Besok giliran dede yah ma.” Namun keesokan harinya ternyata jalanan tidak terlalu macet, jadi kami tidak memesan Gojek lagi.

Beruntungnya saat itu saya mengambil keputusan yang tepat, yaitu memilih Gaby dulu yang naik Gojek, walaupun dedenya menangis lebih keras dari Gaby ( supaya dia terpilih ). Ternyata pengalaman naik Gojek bersama Gaby hari itu adalah pengalaman yang pertama dan terakhir bagi kami.

Setelah pengalaman itu, Gaby sempat bertanya kepada saya “MA, KAPAN KITA NAIK GOJEK LAGI ?”
Saya rasa mungkin Abang Gojeknya masih ingat dengan Gaby, sebab Abang Gojeknya mengantar kami tepat sampai ke depan pintu masuk sekolah yang bagian dalam. Gaby memakai seragam batik biru seperti di foto ini saat naik Gojek bersama saya.

Terima kasih Abang Gojek untuk kenangan manisnya bersama Gaby di tengah kemacetan hari itu.

No comments:

Post a Comment