Saturday, February 6, 2016

Seperti Disayat-sayat Rasanya Hati ini Setiap Memandang Barang-barang Milik Gaby Sambil Menyadari Kalau Gaby Sudah Meninggal Dunia


Malam itu, tanggal 17 September 2015, saya memutuskan kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang milik Gaby yang dibutuhkan untuk dibawa kembali ke rumah duka. Sekitar pukul 23.30, kami tiba di rumah. Chelsea dan omanya bersiap untuk istirahat. Malam itu Chelsea terlihat sangat lelah setelah berkali-kali muntah di perjalanan pulang ke rumah. 

Saya langsung mandi, dan bersiap-siap untuk kembali ke Rumah Duka. Saya mengumpulkan barang-barang Gaby satu per satu, mulai dari Foto Gaby yang akan diletakkan di depan peti jenazah ( foto itu adalah foto 1 bulan sebelum kejadian Gaby tenggelam, yang diambil di Kidzania pada tanggal 16 Agustus 2015. Foto itu menjadi kenangan Gaby yang pertama dan terakhir berkunjung dan bermain di Kidzania ), Boneka Teddy Bear kesayangan Gaby yang saat itu masih terbaring di ranjangnya, Award Gaby, Baju Renang Gaby yang seharusnya dia pakai keesokan harinya untuk les renang, baju kesukaan Gaby, Bando kesayangannya, Gelang hasil kreasinya sendiri ( saat acara Natal 2014 di aula Gereja St. Matias Rasul ), Jam tangan Hello Kitty hadiah ulangtahunnya yang ke 7 tahun dari mama, dan mainan kesayangannya yaitu Congklak dan Monopoli.

Congklak dan Boneka Teddy Bear adalah hadiah ultah Gaby yang ke 8 tahun dari omanya. Sedangkan monopoli dan Dompet Teddy Bear adalah kado ultah Gaby yang ke 8 dari mama.

Memandang congklak milik Gaby yang berwarna hijau itu, kembali mengingatkan saya tentang kenangan kami saat bermain congklak itu. Kami biasanya bermain congklak di kamar tidur saya. Kami pernah bermain congklak dan membuat ketentuan bahwa yang kalah akan dicoret mukanya pakai bedak. Dan waktu itu muka Gaby penuh coretan bedak akibat kalah terus main congklak sama mama. Sayang muka lucu Gaby yang saat itu penuh coretan bedak tidak saya abadikan.

Yang membuat saya menyesal, adalah beberapa minggu sebelum kejadian tenggelam itu, Gaby kembali mengajak saya bermain congklak bersama. Saat itu sudah cukup malam dan saya sudah ngantuk berat. Gaby dengan bersemangat terus mengajak saya bermain congklak, bahkan congklaknya sudah disetting “tujuh-tujuh” pada setiap lubangnya, jadi sudah siap untuk dimainkan. Sayang sekali saya menolak permintaan Gaby dan bilang “Mainnya besok aja Bie, udah malem. Mama udah ngantuk. Bobo aja yuk.” Dan tidak lama setelah saya berkata demikian, tiba-tiba Chelsea berjalan melewati congklak yang sudah disetting itu, dan tanpa sengaja congklaknya ketendang. Walhasil semua biji congklaknya berhamburan di lantai. Gaby sangat kecewa dan berkata “Mama sih ngga sayang Bibie. Aku ngga mau main congklak lagi sama mama."  Dan sejak saat itu Gaby tidak pernah mengajak saya bermain congklak lagi, sampai peristiwa naas itu terjadi.

Kalau Monopoli, biasanya kami memainkannya di kantor, sebab kalau monopoli tidak seru dimainkan berdua saja, sementara Chelsea masih belum mengerti kalau diajak bermain Monopoli. Jadi Monopoli itu dibawa ke kantor dan kami bermain bersama staff saya di saat tidak ada pelanggan yang datang. Terakhir kali bermain monopoli, kami memainkannya ber empat ( saya, Gaby, dan 2 orang staff saya yaitu Kak Esti dan Kak Fani ). Waktu itu sedang seru-serunya bermain, tiba-tiba ada pelanggan datang, jadi permainannya tertunda. Supaya next time tidak usah dari awal lagi kalau mau dilanjutkan, maka diberi tanda property masing-masing ( uang milik masing-masing diberi tanda sesuai nama masing-masing ). Saat saya hendak memasukkan monopoli itu ke dalam peti jenazah, saya coba memeriksa isi dalam kotak monopoli itu, dan ternyata masih ada tulisan “Uang Gaby, Uang mama, Uang Esti, Uang Fani.” Maaf ya Bie kita belum sempat menyelesaikan permainan monopolinya sampai tuntas. Semoga Bibie bisa melanjutkan bermain congklak dan monopolinya bersama para malaikat dan teman-teman baru Gaby di Surga.

Setelah itu, saya mencari Diary Gaby. Diary yang covernya saya design secara khusus sebagai hadiah Natal tahun 2013 untuk Gaby. Diary itu saya pesan dari luar kota. Waktu itu, diary itu saya berikan kepada Gaby sambil berpesan “Bibie simpen sendiri nih diarynya. Kalo ada peristiwa penting apa yang mau Bibie catet, dicatet yang rapi di diary ini. Kalo lagi happy atau sedih tulis aja di diarynya. Nanti bisa buat kenang-kenangan. Tapi kalo bisa nulisnya yang bagus. Jangan dicorat-coret sebab ini diarynya bagus. Jadi sayang kalo Cuma buat dicorat-coret. Kalo ngga, Bibie simpen aja buat kalo udah gede baru dipakai diarynya” Dan Gaby menjawab “Oke.”

Saya cari keberadaan diary itu kesana kemari, sebab saya mau memasukkan diary itu ke dalam peti jenazah, karena diary itu memang khusus saya berikan untuk Gaby. Akhirnya saya menemukan juga diary Gaby. Rupanya Gaby menyimpan diarynya di dalam lemari omanya. Saya cek, diary itu masih kosong. Gaby belum sempat menuliskan apapun ke dalam diarynya itu.

Seperti disayat-sayat rasanya hati ini setiap memandang barang-barang milik Gaby sambil menyadari kalau Gaby sudah tidak bisa lagi memakai semua barang-barangnya, dan BAHWA GABY TELAH MENINGGAL DUNIA.

Perasaan tidak percaya, seperti mimpi, sedih, hancur, rasanya campur aduk di dalam hati saya. Walaupun saya mencoba untuk selalu pasrah kepada Tuhan dan mencoba menerima kenyataan ini dengan penuh keikhlasan kepada Tuhan, namun kegalauan tetap saja menyelimuti hati saya sebagai seorang manusia biasa pada saat itu.

Setelah semua barang-barang Gaby terkumpul, saya bersiap untuk segera kembali ke Rumah Duka. Namun saat hendak pergi, saya melihat Chelsea tidurnya sangat gelisah. Seperti kaget-kagetan tidak seperti biasanya. Mungkin dia shock dengan kenyataan cie-cie kesayangannya meninggal dunia. Melihat kondisi Chelsea seperti itu, saya jadi ragu untuk meninggalkannya pergi.

Saya lalu memutuskan untuk menemani Chelsea tidur di sampingnya malam itu. Saya telpon papa Gaby dan mengabarkan kalau Chelsea tidak bisa ditinggal. Akhirnya papa Gaby juga pulang ke rumah, dan adiknya papa Gaby yang menunggu jenazah Gaby di Rumah Duka.

Keseokan paginya, kami baru kembali ke Rumah Duka.

No comments:

Post a Comment