Pagi itu, tgl. 17 September 2015, setelah dokter menyatakan Gaby telah meninggal, waktu serasa berhenti bergerak dalam hidup saya.
Anehnya, walaupun saat itu saya dilanda kesedihan yang mendalam, namun saya merasa ada suatu kekuatan yang mengatakan kepada saya “Gaby itu tidak mati Vera. Hidupnya bukan dilenyapkan, tapi hanya diubah. Rohnya tetap hidup dan bisa melihat kamu disini. Bahkan kehidupan yang lebih indah dari dunia ini telah menantinya. Tuhan Yesus mengasihi Gaby.” Saya rasa itu suara Tuhan untuk menguatkan saya.
Tapi yang namanya manusia, menerima kenyataan anak yang segar bugar dan baru sekitar 1,5 jam saya antar sekolah, tahu-tahu sudah menjadi jenazah adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.
Sangat miris rasanya membayangkan saya sudah tidak bisa lagi memeluknya, menciumnya, membangunkan tidurnya di pagi hari, memandikannya, mengantar dan menjemputnya saat sekolah dan les, menemaninya belajar dan buat PR, melihat senyumnya, bermain bersamanya, mengajaknya jalan-jalan, nonton film kesukaannya di bioskop, membuatkan makanan kesukaannya, main layangan dan berpelukan bersamanya sambil melihat sunset di dak rumah, dan seribu kenangan lainnya yang sudah saya lakukan bersama Gaby.
Sudah tidak ada lagi Gaby yang selalu memeluk saya dengan kuat dan manja ( khususnya saat selesai mandi pagi, dan saat saya menjemputnya di sekolah ), menelpon saya berkali-kali untuk cepet pulang ke rumah, berlari untuk membukakan pagar saat saya pulang ke rumah, menunggu saya pulang hingga ketiduran di sofa ( kalau saya lagi keluar rumah dan pulang kemaleman ), menulis surat-surat cinta untuk saya, mengatakan kepada saya “GABY LOVE MAMA AND NEVER GIVE UP FOR MAMA !”, dan setumpuk kebaikan lainnya yang dilakukan Gaby kepada saya.
RASA KEHILANGAN GABY ITU YANG MENYIKSA BATIN SAYA SAAT ITU.
SAYA KEHILANGAN SEORANG ANAK YANG BAIK, PENURUT, DAN SANGAT MENYAYANGI PAPA, MAMA, DEDE DAN AMANYA.
(Gaby selalu bilang kalo dia paling sayang sama mama. Dari bayi selalu maunya deket-deket mama dan ga mau ditinggal pergi sama mama. Ditinggal pergi sebentar aja pasti nangis ga berenti-berenti. Pernah mamanya mau angkatin jemuran baju di depan rumah, dan Gaby ditaruh di box bayi ( masih bisa lihat mamanya sebab box bayinya di ruang tamu ), tetep aja nangis. Akhirnya mama angkat jemuran sambil gendong Gaby. )
Terlepas dari kesedihan yang melanda saya, suara hati saya berkata “Kamu kan sayang Gaby ! Ayo doain Gaby supaya Yesus menerimanya masuk ke dalam Surga.” Langsung saya memeluk Gaby dan membisikkan doa Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan, Aku Percaya, lalu doa spontan “Tuhan Yesus terima kasih Tuhan sudah kasih Gaby buat saya. Saya mohon ampunilah dosa-dosa Gaby dan terimalah Gaby dalam pangkuan kasihMu. Gaby anak baik. Berikanlah kebahagiaan abadi buat Gaby di Surga.” Lalu saya bilang sama Gaby “Tuhan Yesus sayang Gaby. Tuhan Yesus akan jagain Gaby. Gaby happy-happy ya di Surga. Mama sayang Gaby. Terima kasih Gaby udah jadi anak mama yang paling hebat.”
Setelah itu, saya dan papa Gaby menelpon keluarga dan teman-teman kami untuk mengabarkan berita duka ini. Tidak lama kemudian, Gaby dipindahkan ke ruang jenazah.
Ada dua orang mommy yang datang beberapa menit setelah saya memberitahu kabar duka cita itu ( mommynya teman sekelas Gaby, dan satunya lagi mommynya teman sekelas Chelsea / dedenya Gaby ).
Perawat disana lalu mengingatkan saya untuk menyediakan pakaian dan sepatu Gaby, untuk dipakaikan di peti jenazah.
Ditemani oleh mommynya teman sekelas Chelsea, saya mencari pakaian dan sepatu untuk Gaby di Mall Puri Indah ( mall terdekat ), sementara papa Gaby menemani jenazah Gaby di ruang jenazah.
Sedangkan mommy teman sekelasnya Gaby yang saat itu juga berada disana, saya minta bantuannya untuk menjemput Chelsea dan omanya di sekolah dan mengantarnya kepada kami di rumah sakit Puri.
***
***
Setelah saya mendapatkan dress dan sepatu buat Gaby (untuk dia pakai di peti jenazah), kami kembali menuju ruang jenazah. Chelsea sudah ada di ruang jenazah itu saat saya kembali. Dia menangis kejer dan bilang ke saya “Ma, dede mau Cie-cie Gaby. Dede mau sama Cie-Cie. Dede sayang cie-cie.”
Sebelumnya, saat kami belum kembali dari mall, Chelsea sempat melihat jenazah Gaby bersama ama dan popo, om dan tantenya, saat mereka tiba di ruang jenazah.
Saya tanya sama Chelsea “Dede ngomong apa sama cie-cie tadi pas lihat jenazah cie-cie ?” Dede menjawab ”Cie bangun cie. Jangan tinggalin dede cie. Bangun cie.”
Sangat miris saya mendengar jawaban Chelsea. yang baru berumur 6 tahun, yang begitu polos dan tulus mengucapkan kata-kata buat Cie-cie Gaby yang telah meninggalkannya untuk selamanya.
No comments:
Post a Comment