Blog ini berisi kumpulan kisah Gaby semasa hidupnya dan perjalanan proses hukum atas kasus kematiannya.
Monday, January 18, 2016
HIDUP adalah SEBUAH PILIHAN
SELALU UTAMAKAN TUHAN DALAM SETIAP PILIHAN KITA, SEBAB HANYA TUHAN YANG TIDAK PERNAH MENGECEWAKAN.
Setiap orang tua pasti cenderung untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan iman yang mereka anut masing-masing.
Setiap agama selalu mengajarkan kebaikan bagi para pemeluknya. Jadi sekolah berbasis agama tentu akan menghasilkan generasi penerus yang memiliki pondasi iman yang baik. Pondasi iman yang baik akan menjadikan seseorang memiliki moral yang baik pula. Bukankah moral yang baik sangat penting dalam praktek hidup bermasyarakat dan bernegara ?
Dalam lubuk hati yang terdalam, sebagai seorang Katholik, pastinya saya lebih suka menyekolahkan anak di sekolah Katholik ( sesuai dengan iman saya ). Begitu juga dengan saudara saudari kita lainnya yang menganut agama lain, pasti lebih suka menyekolahkan anak-anaknya sesuai dengan ajaran iman mereka masing-masing.
Keinginan itu diperkuat dengan latar belakang pendidikan saya, dimana sejak TK - SMU saya juga mendapat pendidikan di sekolah Katholik. Namun dalam menentukan pilihan untuk masa depan anak, pasti saya harus bermusyawarah dengan suami. Suami saya juga seorang Katholik dan juga bersekolah di sekolah Katholik.
Pertimbangan bahwa kami tidak terlalu menguasai Bahasa Inggris, membuat papa Gaby ingin melihat anaknya jago berbahasa Inggris. Seperti pepatah "Bapaknya tukang becak, kalau bisa anaknya jadi dokter."
Papa Gaby adalah sosok ayah yang sangat menyayangi anaknya. Selama ia masih mampu bekerja keras mencari uang, ia akan selalu memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Hidupnya dipersembahkan sepenuhnya untuk kebahagiaan anak-anaknya (istrinya kecipratan sedikit sih ).
Latar belakang itulah yang menyebabkan kami memutuskan untuk menyekolahkan anak-anak kami di sekolah berlabel Internasional yang berbasis Bahasa Inggris ( lebih tepatnya itu keputusan papa Gaby, sebab sejujurnya saya takut melihat biayanya yang mahal ).
Selain takut karena biaya mahal, ada ganjalan dalam hati saya atas keputusan itu. Suara hati saya berbicara kenapa sih ngga pilih sekolah Katholik saja ? Saya juga teringat kata-kata Alm. Romo Widodo, OCarm ( Romo yang memberikan Sakramen Pernikahan kami di gereja MBK pada Juli 2005 ). Dalam khotbahnya beliau mengatakan : "Mendidik anak secara Katholik tidak harus masuk ke sekolah Katholik yang harganya tidak terjangkau ( 10 tahun yang lalu sekolah Katholik termasuk relatif mahal )." Disitu saya berpikir, bila dibandingkan dengan sekolah Internasional, tentu sekolah Katholik ( yang kebanyakan adalah sekolah Nasional ) jauh lebih murah biayanya. Langsung teringat iklan "Kalau ada yang lebih murah dan bagus, kenapa harus bayar lebih mahal ?" Namun kembali lagi ke visi dan misi papa Gaby, akhirnya keluarlah keputusan untuk menyekolahkan Gaby dan adiknya di sekolah berlabel Internasional ( selama masih kuat bayar ), dengan tujuan awal : supaya jago Bahasa Inggris. Karena yang bayar uang sekolahnya juga papa Gaby, keputusan lebih banyak di tangan papa Gaby sebagai kepala keluarga. Semua orang tua pastinya senang bila bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Namun semua harapan itu musnah seketika bagaikan dihantam air bah. Tanggal 17 September 2015 jam 09.00, masa depan itu berakhir di kolam renang sekolah.
Memang hidup itu sebuah pilihan. Hendaknya dalam setiap pilihan kita selalu mengutamakan Tuhan diatas segala-galanya, sebab manusia bisa mengecewakan, hanya Tuhan yang tidak pernah mengecewakan kita. Amin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment