Monday, September 17, 2018

SURAT TERAKHIR GABY



(berdasarkan penggalan naskah yang dibuat untuk mengenang Gaby yang berpulang ke rumah Bapa 3 tahun lalu)

Kamis, 17 September 2015 ( pagi )

Pukul 05.45, seperti biasa aku membangunkan Gaby dari tidurnya dengan mencium pipi dan dagunya ( aku suka dengan bentuk dagu Gaby yang cantik). Gaby lalu bangun tidur dengan manis (sudah gampang dibangunin ) dan langsung menuju kamar mandi untuk aku mandikan seperti biasanya. Setelah Gaby selesai mandi, baru giliran dede yang aku mandikan.

Setelah semua berseragam rapi, aku menanyakan kepada Gaby mengenai tugas yang tertulis di agendanya, tentang Food Groups ( dairy foods, fruit and vegetables, carbohydrate, protein ( fish and meat ), fat and sugar.

"Bie, nih kemarin malem mama udah guntingin gambarnya dari majalah, bener ga gambarnya kayak gini ?" tanyaku kepada Gaby mengenai tugasnya yang harus dikumpul Senin depan ( 4 hari lagi ).
Jawab Gaby "Yang ini bener. Yang ini gambarnya kegedean ma. Yang gambar nasi ini digunting aja ma. Nasinya masuk ke carbohydrate, yang gambar ayam bakarnya masuk ke protein. Ma, kata miss, gambarnya ngga boleh gede-gede, dan gambarnya ngga boleh hitam putih, harus berwarna. Nanti ditempel di karton HVS kayak yang di buku Science."

Mama jawab "ok, ntar mama cariin deh di internet, diprint warna."

Lalu Gaby bertanya "Mama selalu bantuin tugas Bibie emangnya mama selalu mau Bibie dapet nilai excellent ya ?"

Jawab mama "Ia lah Bie. Mama kan sayang Bibie." Dan Gaby tersenyum nyengir ke mama.

Sesaat kemudian, aku membuka lemari pakaianku, hendak mengambil sisir yang biasa kuletakkan di rak paling atas bagian depan lemari. Di bawah sisir tampak sepucuk surat yang dikemas rapi dengan amplop sederhana hasil buatan tangan. Sepertinya penulis surat tersebut sengaja meletakkan surat itu di bawah sisirku, agar aku dapat menemukan dan membacanya.

Aku menyentuh amplop itu. Di bagian depan amplop tertulis ”Love : Gaby.” Aku menyimpulkan bahwa itu surat dari Gaby yang sengaja ia tulis untukku. Kemarin sore memang sempat kulihat ia duduk di meja belajarnya dan menuliskan sesuatu pada secarik kertas putih.

Aku tergoda untuk membuka isi amplop itu. Ku lihat ada beberapa lembar kertas didalamnya. Mengingat kami harus segera berangkat ke sekolah, aku kemudian mengurungkan niatku untuk membuka amplop tersebut pagi itu. Suara hatiku berkata “Ah, waktunya sudah mepet. Kami harus segera berangkat. Nanti makin siang jalanan makin macet. Bisa-bisa terlambat sampai di sekolah. Nanti siang saja aku membacanya. Biasanya Gaby juga sering kok tulis-tulis surat untukku. Tapi tumben kali ini suratnya ia kemas dengan rapi dalam amplop, dan ia tidak memberikannya secara langsung kepadaku. Hmmm, kira-kira apa yah isi suratnya ?” Aku pun kembali meletakkan amplop surat tersebut di tempat semula aku menemukannya.

Ketika aku sedang menyentuh dan membaca tulisan di bagian depan amplop surat itu, dari sudut mataku aku melihat Gaby menatapku, namun ia tidak berkata apa-apa. Mungkin dia berpikir “Oh, mama sudah liat ada surat dari Bibie.”

Aku kemudian menyisir rambutku, rambut Gaby dan juga rambut Chelsea. Lalu kuletakkan kembali sisirku diatas amplop surat Gaby, sehingga posisi amplop itu sesuai dengan posisi ketika aku pertama kali menemukannya.

Kututup lemari pakaian, lalu aku menyuruh anak-anak pamit dengan papanya. Kami pun keluar dari kamar, menuruni tangga rumahku yang berbentuk L, lalu mereka masing-masing mengenakan sepatu. Di bawah, ama ( nenek mereka ) telah siap mengantarkan kami sampai masuk ke dalam mobil. Seperti biasa, kami saling melambaikan tangan kepada ama sambil berkata “Bye-bye Ama…”

Di mobil dalam perjalanan ke sekolah, Gaby berkata "Ma jangan lupa ya nanti bikinin Bibie puding love." Mama jawab "Ok boss. Ntar pas pulang sekolah Bibie buka kulkas pasti udah ada puding lovenya, ok ?"

Setelah sampai di sekolah ( pukul 07.20 ), mama anter Gaby dan dede ke tangga depan. Gaby berkata lagi "Ma, cium dulu." Seperti hari-hari sebelumnya, tanpa diminta pun sy selalu mencium Gaby dan dedenya sebelum masuk kelas. Tapi kata-kata “Ma, cium dulu” ternyata menjadi kata-kata terakhir Gaby kepadaku.

Setelah mencium kedua anakku, mereka menaiki tangga dan aku mengawasinya sampai mereka hilang dari pandanganku. Sejak Gaby kelas 3 SD, aku tidak selalu mengantar Gaby dan adiknya sampai di depan kelas mereka, karena sering ditegur oleh guru-guru disana untuk di drop saja dibawah. Jadi sejak kelas 3 SD, aku mengganti tas trolly Gaby dengan tas ransel agar lebih ringan ketika dibawa menaiki tangga sampai ke kelasnya. Sejak kelas 3 SD pula, letak kelas Gaby juga semakin tinggi, yaitu di lantai 3.

Seperti biasa, setelah mengantar mereka ke sekolah, aku langsung menuju kantor. Setelah buka kantor ( pukul 08.00) aku ke pasar belakang untuk beli cetakan puding pesanan Gaby. Setelah itu aku balik ke kantor dan browsing google mencari gambar-gambar Food Groups untuk tugas Gaby.
Pukul 09.11, ponselku berdering. Itu adalah panggilan telepon dari pihak sekolah Gaby yang mengabarkan bahwa aku harus segera ke Rumah Sakit secepatnya. Aku bergegas ke rumah sakit, namun setibanya di rumah sakit, aku menemukan Gaby di emergency room dalam keadaan sudah meninggal dunia.

Hal ini dipertegas oleh keterangan Dokter di RS tersebut, yang mengatakan Gaby tiba di RS pukul 09.12 dalam keadaan sudah meninggal dunia.

                                                                              * * *
Hidup ini kadang jalan ceritanya sulit dimengerti dan penuh dengan dinamika naik turun. Kadang kita merasakan kebahagiaan yang begitu sempurna, namun kadang kita mengalami kepahitan hidup yang sangat mendalam.Hanya relasi yang baik kepada Tuhan yang dapat membuat kita tetap kuat dalam menghadapi segala kepahitan hidup ini.

Ukirlah kenangan indah bersama orang-orang yang kita cintai ( suami, istri, anak-anak, orang tua, family, teman, dll. ). Sebab kita tidak pernah tahu apakah hari ini akan menjadi hari terakhir bagi kita untuk dapat bersama-sama dengan mereka. Entah hidup kita yang akan berakhir, entah hidup mereka yang akan berakhir.

                                                                              * * *
Kamis, 17 September 2015 ( malam )

Aku pulang ke rumah untuk mengambil barang-barang Gaby yang hendak dimasukkan ke dalam peti jenazah, sekaligus mengantar Chelsea dan omanya pulang.

Sekitar pukul 23.30, kami tiba di rumah. Chelsea dan omanya bersiap untuk istirahat. Malam itu Chelsea terlihat sangat lelah dan shock atas kepergian cie-cie Gaby untuk selama-lamanya.

Aku mengantar Chelsea ke kamar. Setelah ia berbaring di tempat tidurku, aku beranjak menuju lemari. Aku membuka pintu lemari dan menatap amplop surat yang tadi pagi belum sempat kubaca suratnya. Jantungku mendadak berdebar-debar. Aku mengambil surat itu dengan perasaan hancur, sedih dan perasaan campur aduk yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Kupandang tulisan yang tertera di bagian depan amplop, yang tadi pagi sempat kubaca. Tertulis “Love : Gaby.” Meskipun kata-katanya masih tetap sama, sungguh berbeda rasanya makna dari kata-kata itu bagiku. Surat itu ternyata menjadi surat terakhir Gaby untukku. Surat yang terakhir kali Gaby tulis satu hari sebelum ia pergi meninggalkanku untuk selamanya, meninggalkan papanya, meninggalkan adiknya, meninggalkan amanya, dan meninggalkan dunia ini.

Kubuka surat itu dengan penuh penyesalan. “Kenapa nggak dari pagi tadi saja sih aku buka suratnya ? Sekarang jadi terlambat kan mengetahui isi surat Gaby !” batinku berteriak. Aku menemukan tiga lembar kertas di dalam amplop itu. Satu lembar berupa surat yang dilipat, satu lembar berupa gambar hello kitty yang dulu pernah aku gambarkan untuknya, satu lembar berupa cetakan layout untuk cover diary yang dulu pernah aku hadiahkan kepadanya.

Pertama-tama, kubuka surat yang dilipat dengan jantung berdebar-debar. Di pojok kiri atas surat itu tertulis “From : Gaby.” Dibawahnya tertulis “Gaby Love Ma and Pa.” Pada baris terakhir ada gambar love dengan kata “love” di dalamnya, lalu disebelah kanannya tertulis “Ma and Pa.” Membaca surat itu rasanya seperti Gaby masih hidup, dan Gaby sendirilah yang membisikkan kata-kata yang tertulis dalam surat itu secara lisan ke telinga mama. Ya, mama mengang mengimani bahwa roh Gaby tetap hidup, dan hanya beralih dari dunia ini menuju kehidupan kekal di Surga.

Setelah selesai membaca surat yang terlipat tadi, aku membuka lipatan cetakan layout cover diary Gaby yang dulu pernah aku buat untuknya dengan design special sebagai hadiah Natal. Ternyata di dalamnya ada tulisan lagi yang berbunyi “I love mother. Gaby love Ma.”

Aku pun memandang gambar wajah hello kitty yang dulu pernah aku buatkan untuknya. Gambar sederhana yang dulu aku buat diatas secarik kertas bekas kecil ternyata masih disimpannya dengan rapi.

Setelah itu, aku mandi dan mengumpulkan barang-barang milik Gaby satu per satu. Setelah semua barang-barang Gaby terkumpul, aku bersiap untuk segera kembali ke Rumah Duka. Namun saat hendak pergi, aku melihat Chelsea tidurnya sangat gelisah. Seperti kaget-kagetan tidak seperti biasanya. Mungkin dia shock dengan kenyataan cie-cie kesayangannya meninggal dunia.

Melihat kondisi Chelsea seperti itu, aku menjadi ragu untuk meninggalkannya pergi. Aku lalu memutuskan untuk menemani Chelsea tidur di sampingnya malam itu. Aku telpon papa Gaby dan mengabarkan bahwa Chelsea tidak bisa ditinggal. Akhirnya papa Gaby juga pulang ke rumah, dan adiknya papa Gaby yang menunggu jenazah Gaby di Rumah Duka.

Keseokan paginya, kami baru kembali ke Rumah Duka.