Friday, February 16, 2018

GONG XI FA CAI


Bibie...
Sincia tahun Kambing ( 2015 ) adalah Sincia terakhirmu...
Saat itu Bibie sudah berumur 8 tahun ( walaupun saat itu Bibie belum ultah yang ke 8 )...
Kala itu Bibie senang sekali diajak kiong hi ke tempat popo dan keluarga lainnya...
Bibie pun menyimpan semua kertas angpao yang Bibie dapat ke dalam sebuah tas kecil...
Setelah Bibie pergi meninggalkan dunia ini, mama menemukan koleksi kertas angpao ini di dalam tas kecil Bibie...
Mama menyimpannya... dan akan terus menyimpannya...
Sekarang, setiap imlek tiba, mama hanya bisa memandang foto Bibie yang memakai baju Cheongsam ini, dan juga memandang kertas-kertas angpao Bibie ini...
Mama sudah ngga bisa kasih angpao ke Bibie lagi, tapi biarlah doa-doa mama selama ini menjadi angapo kebahagiaan buat Bibie di surga...
Amin...


GONG XI FA CAI...SEMOGA KEBAHAGIAAN SURGAWI SENANTIASA MELIPUTIMU SAMPAI KITA BERTEMU LAGI...

Saturday, February 10, 2018

MENGINTIP KAMAR GABY


Pintu ini merupakan penghubung antara kamar Gaby dan kamarku.
Kamar kami sengaja dibuat saling terhubung agar kebersamaan dengan anak-anak dapat tetap terjalin tanpa terpisahkan oleh tembok.
Dulu setiap Gaby keluar masuk kamar pasti melewati pintu ini.
Dikala aku terjaga di malam hari, akupun sering melongok posisi tidur Gaby lewat pintu ini. Apakah bantalnya menutupi hidungnya ? Apakah kakinya terjuntai keluar dari tempat tidur ? Apakah selimutnya perlu diperbaiki posisinya ? Apakah bajunya perlu dibetulkan ? Apakah ACnya terlalu dingin ?
Setiap pagi, aku selalu melewati pintu ini untuk membangunkan anak-anakku ( Bibie dan dede ), sekaligus menyiapkan baju seragam sekolah mereka. Terkadang saat dede tidur di kamarku, aku melewati pintu ini hanya untuk membangunkan Bibie.
(Terakhir-terakhir dede lebih sering bobo di kamarku, dan Bibie bobo sama papa di kamar Bibie. Bibie sebenarnya juga mau bobo di kamarku. Namun setiap kami tidur bertiga, dede yang bobo ditengah selalu terbangun dan merasa kesempitan, sedangkan Bibie sudah tertidur pulas. Daripada Bibie ketendang dede karena sempit, jadi aku menggendong Bibie melewati pintu penghubung ini untuk memindahkannya kembali ke kamarnya.
Kalau dede yang dipindahin, dedenya yang akan nangis kejer. Kalau aku yang tidur ditengah, dede takutnya terjatuh dari tempat tidur karena tidurnya sering bergeser kemana-mana. Sedangkan Bibie tidurnya lebih anteng dan jarang bergeser kemana-mana.
Tentu saja ketika dipindahkan, Bibie merasa sedih. Sambil menangis ia berkata "Bibie juga mau tidur bareng mama. Kenapa Bibie yang harus dipindahin. Mama sayangnya dede doang. Ngga sayang Bibie." Kini airmata dan kata-katanya itu selalu kukenang. Maafkan mama Bie. Kalau saja mama tahu Bibie tidak punya waktu banyak lagi bersama mama...)
Aku mengambil seragam mereka dari dalam lemari pakaian mereka, meletakkannya diatas tempat tidurku, kemudian aku memandikan mereka. Setelah selesai mandi, mereka menuju kamarku untuk mengenakan pakaian seragam masing-masing. Terkadang Bibie memakai pakaiannya sendiri, namun terkadang ia juga minta dipakaikan olehku. Sedangkan dede selalu memakai seragamnya dengan bantuanku.
Pagi itu, Kamis, 17 September 2015, sekitar pukul 05.30 WIB, Bibie melewati pintu ini untuk mandi pagi. Setelah selesai mandi, seperti biasa Bibie berganti pakaian di kamarku, lalu berangkat ke sekolah. Ternyata...setelah itu...Bibie tidak pernah lagi melewati pintu ini, karena Bibie tidak pernah bisa pulang kembali ke rumah selamanya.
Kamis menjelang tengah malam ( 17 Septemeber 2015), setelah kembali dari rumah duka, aku melewati pintu ini untuk mengumpulkan barang-barang serta pakaian kesukaan Bibie, untuk kubawa ke rumah duka dan kuletakkan di samping jenazahnya. Kulihat boneka Teddy Bear coklat kesayangannya masih terbaring diatas tempat tidurnya. Biasanya sepulang sekolah, sesampainya di rumah ia langsung mencari dan memeluk boneka itu. Bahkan boneka itu sering dibawanya ketika aku mengantarnya ke sekolah. Ia pun berpesan padaku untuk tidak menurunkan bonekanya dari mobil sampai aku kembali menjemputnya. Ia ingin Teddy Bearnya turut serta bersama mamanya, mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Begitu pula dengan dede. Boneka Teddy Bear biru dede juga tak ketinggalan dibawa-bawa oleh dede. Boneka itu bahkan seringkali mereka letakkan dalam posisi duduk bersebelahan di tengah-tengah kursi mobil bagian tengah, sesuai posisi mereka duduk masing-masing. Namun pada Kamis, 17 September 2015, Bibie dan dede tidak membawa serta boneka Teddy Bear masing-masing ke sekolah.
Sementara aku mengumpulkan sebagian barang-barang Bibie, dede yang sudah lelah dan berkali-kali muntah dalam perjalanan pulang dari rumah duka, berbaring di tempat tidurku ditemani amanya ( neneknya ).
Dede bilang "Dede takut tidur di kamar dede ( kamar Bibie juga ). Dede mau tidur di kamar mama aja."
Malam itu tidur dede terlihat gelisah sekali, mungkin karena syok dengan keadaan dimana ia harus kehilangan cie-cienya. Akupun terpaksa mengurungkan niatku untuk balik ke rumah duka. Aku lalu mempersilahkan mamaku untuk beristirahat di kamarnya, dan aku kemudian berbaring di sebelah dede, menemaninya sampai tertidur pulas.
Dalam kesendirianku ( saat dede mulai titidur pulas ), aku merasakan kegalauan yang luar biasa. Tidak ada kata-kata yang bisa mendeskripsikan perasaanku saat itu. Aku berharap semua yang terjadi sepanjang hari itu hanyalah sebuah mimpi. Ya, aku berharap segera bangun dari mimpi buruk itu, namun aku tak kunjung terjaga dari mimpi itu.
Aku kemudian membuka lebar pintu penghubung dan berdiri disampingnya sambil memandang tempat tidur Gaby yang kini kosong. Tempat tidur ini belum pernah kosong sebelumnya. Namun sejak Kamis, 17 September 2015, tempat tidur ini kini tak ada penghuninya lagi.
Sesekali saat tidur, aku pernah bermimpi buruk. Syukurlah saat bermimpi buruk, aku seringkali meneriakkan namaNya dalam ketakutanku. Ya, namaNya. Setelah terjaga, seringkali yang melekat kuat dalam ingatanku bukan lagi mimpi burukku itu, tapi perasaanku saat aku menyebut namaNya. Sungguh aku membutuhkan pertolonganNya.
Tapi ini bukan mimpi buruk. Ini adalah kenyataan pahit. Oleh karena itu aku panggil namaNya dengan kesadaran penuh...Aku berdoa...
Ketika Gaby sudah tidak bisa menggeser pintu ini...
Ketika Gaby sudah tidak bisa melewatinya lagi...
Aku menempel foto Gaby di pintu itu, supaya ketika aku menggesernya, aku bisa merasakan keberadaannya. Walaupun itu hanya sekedar impian, setidaknya itu adalah sebuah impian yang indah.
Sama halnya seperti kamar kami yang sengaja dibuat terhubung agar kebersamaan kami bersama Bibie dan dede tetap terjalin dengan baik, kini kami pun tetap mempertahankan jalinan kebersamaan itu.
Bagi kami, jalinan kebersamaan itu mampu menembus batas ruang dan waktu, karena jalinan kebersamaan itu berasal dari dalam hati, yang isinya tidak dapat dilihat, namun bisa dirasakan.